Pengertian Religiusitas
Religiusitas merupakan kata jadian
yang berkaitan dengan kata religi dan religius. Oleh karena itu untuk
mengetahui arti kata religiusitas perlu kiranya untuk mengetahui kedua istilah
tersebut terlebih dahulu.
Religi berasal dari bahasa latin
religio yang akar katanya adalah religare yang berarti ‘mengikat’ (Driyarkara
dalam Subandi, 1988). Religi atau agama mencakup aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, yang semuanya itu berfungsi untuk
mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya
terhadap Tuhan, sesama manusia, serta alam sekitarnya.
Islam selama ini dikenal sebagai
sebuah agama tapi dalam Al Qur’an atau hadits Islam disebut dengan dien. Dien
dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja dana yang mempunyai beberapa arti,
yaitu kekuatan, kekuasaan, hukum, perintah; taat, menghamba, menolong;
syaria’t, peraturan, jalan, mazhab, agama, ikutan, dan kekuasaan; balasan,
upah, perhitungan, persesuaian (Sulaiman, 1984).
Mangunwijaya (Subandi, 1988),
membedakan antara istilah religi dengan istilah religiusitas. Religi menunjuk
pada aspek formal, yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban; sedangkan
religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di
dalam hati. Sesuai dengan pendapat ini, Dister (Subandi, 1988), mengartikan
religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama
itu di dalam diri seseorang.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam
diri seseorang. Internalisasi di sini berkaitan dengan kepercayaan terhadap
ajaran-ajaran agama baik di dalam hati maupun dalam ucapan. Kepercayaan ini
kemudian diaktualisasikan dalam perbuatan atau tingkah laku sehari-hari.
ASPEK –
ASPEK RELIGIUSITAS :
Menurut
penelitian Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup dan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Glock dan Stark (Widiyanta, 2005), ada lima dimensi
religiusitas, yang oleh peneliti akan dijadikan aspek-aspek dalam menyusun
skala religiusitas yaitu:
A.
Religious practice (the ritualistic dimension) / Aspek Islam
Tingkatan
sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti
shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
B.
Religious belief (the ideological dimension)/Aspek Iman
Sejauh
mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya
kepercayaan tentang adanya Tuhan, malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari
kiamat, surga, neraka, dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.
C.
Religious knowledge (the intellectual dimension)/Aspek ilmu
Seberapa
jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan
aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.
D.
Religious feeling (the experiental dimension)/Aspek Ikhsan
Dimensi
yang terdiri dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan,
seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan,
dan sebagainya.
E.
Religious effect (the consequential dimension)/Aspek Amal
Dimensi
yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya
di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut
melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas
Religiusitas atau keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di
antaranya: pendidikan keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan
pada waktu kita kecil atau pada masa kanak-kanak. Seorang remaja yang pada masa
kecilnya mendapat pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya,
lingkungan sosial dan teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta
mendapat pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda
dengan anak yang tidak pernah mendapatkan
pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan
betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan pendidikan agama
baik di rumah mapun di sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai
kecenderungan hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan
takut melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo, 2004).
Thoules (azra, 2000) menyebutkan beberapa faktor
yang mempengaruhi religiusitas, yaitu:
a. Pengaruh
pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang
mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk
pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai
pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
b. Berbagai
pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama
pengalaman mengenai:
1) Keindahan,
keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah)
2) Adanya konflik
moral (faktor moral)
3) Pengalaman
emosional keagamaan (faktor afektif)
c. Faktor-faktor
yang seluruhnya atau sebagian yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan
ancaman kematian.
Menurut Glock (Rahmat, 2003) bahwa ada lima aspek atau dimensi
religiusitas yaitu :
a. Dimensi Ideologi atau keyakinan, yaitu
dimensi dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai,
misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, dsb. Kepercayaan atau
doktrin agama adalah dimensi yang paling mendasar.
b. Dimensi Peribadatan, yaitu dimensi
keberagaman yang berkaitan dengan sejumlah perilaku, dimana perilaku
tersebut sudah ditetapakan oleh agama, seperti tata cara ibadah,
pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, shalat atau menjalankan
ritual-ritual khusus pada hari-hari suci.
c. Dimensi Penghayatan, yaitu dimensi yang
berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama atau
seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama
yang dilakukannya, misalnya kekhusyukan ketika melakukan sholat.
d. Dimensi Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan
pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang
dianutnya.
e. Dimensi Pengamalan, yaitu berkaitan dengan
akibat dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya yang diaplikasikan melalui
sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pengertian Perilaku Sosial
Menurut Rusli Ibrahim (2001), Perilaku sosial adalah
suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin
keberadaan manusia. Sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan
bantuan dari orang lain, dimana saling ketergantungan diantara satu orang
dengan yang lainnya. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam
suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu
bekerja sama, saling menghormati, tidak menggangu hak orang lain, toleran dalam
hidup bermasyarakat.
Pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai
faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pada aspek
eksternal situasi sosial memegang peranan yang cukup penting. Situasi sosial
diartikan sebagai tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara
manusia yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain setiap situasi yang
menyebabkan terjadinya interaksi social dapatlah dikatakan sebagai situasi
sosial. Contoh situasi sosial misalnya di lingkungan pasar, pada saat rapat,
atau dalam lingkungan pembelajaran pendidikan jasmani.
Faktor-faktor Pembentuk Perilaku Sosial
1. Perilaku dan karakteristik orang lain
Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang
yang memiliki karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku
seperti kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan
pergaulannya. Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang berkarakter
sombong, maka ia akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini
guru memegang peranan penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi
pembentukan perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan pengaruh yang cukup
besar dalam mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu perbuatan.
2. Proses Kognitif
Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan
pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh
terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang calon pelatih yang terus berpikir
agar kelak dikemudian hari menjadi pelatih yang baik, menjadi idola bagi
atletnya dan orang lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan
memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain misalnya seorang
siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses dalam
pembelajaran penjaskes maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas jasmani
yang ditunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung teman-temannya
untuk beraktivitas jasmani dengan benar.
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku
sosial seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai atau
pegunungan yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku sosialnya seolah
keras pula, ketika berada di lingkungan masyarakat yang terbiasa lembut dan
halus dalam bertutur kata.
4. Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu
terjadi
Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya
tertentu mungkin akan terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam
lingkungan masyarakat yang beretnis budaya lain atau berbeda.
jadi hubungan dari Religiusitas dengan Prilaku Sosial itu saling
berhubungan satu sama lain dimana Prilaku sosial dapat terbentuk karna adanya
juga hubungan religiusitas dan begitupun sebaliknya prilaku sosial juga
terbentuk karna adanya juga hubungan religiusitas, Artinya bahwa kelangsungan
hidup manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan,
bisa juga adanya salign menghormati satu sama lain dan saling menghargai umat
yang berbeda suku , ras , adat , dan agama.
Pengaruh Religius Terhadap Kehidupan Sosial
Sebagaimana telah dijelaskan dari pemaparan
diatas, jasa terbesar agama adalah mengarahkan perhatian manusia kepada masalah
yang penting yang selalu menggoda manusia yaitu masalah “arti dan makna”.
Manusia membutuhkan bukan saja pengaturan emosi, tetapi juga kepastian kognitif
tentang perkara-perkara seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian,
nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut agama menunjukan kepada manusia
jalan dan arah kemana manusia dapat mencari jawabannya. Dan jawaban tersebut
hanya dapat diperoleh jika manusia beserta masyarakatnya mau menerima
suatu yang ditunjuk sebagai “sumber” dan “terminal terakhir” dari segala
kejadian yang ada di dunia. Terminal terakhir ini berada dalam
dunia supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga indrawi maupun
otak manusiawi, sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional, malainkan
harus diterima sebagai kebenaran. Agama juga telah meningkatkan kesadaran yang
hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian
dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup manusia yang berat.
Para ahli kebuadayaan yang telah mengadakan
pengamatan mengenai aneka kebudayaan berbagai bangsa sampai pada kesimpulan,
bahwa agama merupakan unsur inti yang paling mendasar dari kebudayaan manusia,
baik ditinjau dari segi positif maupun negatif. Masyarakat adalah suatu
fenomena sosial yang terkena arus perubahan terus-menerus yang dapat dibagi
dalam dua kategori : kekuatan batin (rohani) dan kekuatan lahir (jasmani).
Contoh perubahan yang disebabkan kekuatan lahir ialah perkembangan teknologi
yang dibuat oleh manusia. Sedangkan contoh perubahan yang disebabkan oleh
kekuatan batin adalah demokrasi, reformasi, dan agama. Dari analisis komparatif
ternyata bahwa agama dan nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang
terkuat dari semua kebudayaan, agama dapat menjadi inisiator ataupun promotor,
tetapi juga sebagai alat penentang yang gigih sesuai dengan kedudukan agama.
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat
dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang
menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif
atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative
factor). Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal
yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi
masyarakat, pengaruh yang bersifat integratif.
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran
agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota
beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu
mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari
sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok
keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama adalah, meskipun
agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan
memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat
memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari
begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga
seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Komentar
Posting Komentar